Jumat, 24 April 2015

PENGALENGAN IKAN TUNA

BAB I

PENDAHULUAN

I.1.        Latar Belakang

Indonesia merupakan negara pengekspor tuna dalam berbagai variasi produk, yang salh satunya adalh produk tuna dalam kaleng. Terdapat berbagai jenis ikan tuna di perairan indonesia yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan produk tuna kaleng.  Dalam dua puluh lima tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia (Dahuri, 2004). Ikan (seafood) rata-rata mengandung 20 % protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega 3 yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, mencegah terjadinya penyakit jantung, stroke dan darah tinggi. Lebih dari itu omega 3 juga dapat mencegah penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, colitis, dermatitis serta psoriasis, beberapa jenis penyakit ginjal dan membantu penyembuhan penyakit depresi, skizofrenia serta gejala hiperaktif pada anak-anak (Dahuri, 2004 dan Astawan, 2004). Dibandingkan dengan nilai gizi daging hewan darat, misalnya daging sapi, kedudukan ikan boleh dikatakan jauh lebih tinggi. Sedangkan dibandingkan dengan telur kedudukan ikan sebagai bahan pangan juga tidak jauh berbeda. Protein ikan mempunyai nilai biologis tinggi. Meskipun tiap jenis ikan angka biologisnya berbeda tetapi umumnya sekitar 90. Derajat penerimaan seseorang terhadap ikan sangat tinggi. Hal ini karena ikan memberikan rasa yang khas yaitu gurih, warna dagingnya kebanyakan putih, jaringan pengikatnya halus sehingga jika dimakan terasa enak (Hadiwiyoto, 1993).
Pengalengan yaitu salah satu cara penyimpanan dan pengawetan bahan pangan yang dikemassecara hermetic dalam suatu wadah yang disebut can (kaleng) dan kemudian disterilkan, sehingga diperoleh produk pangan yang tahan lama dan tidak mengalami kerusakan baik fisik, kimia maupun biologis. Kandungan protein yang cukup tinggi pada ikan menyebabkan ikan mudah rusak bila tidak segera dilakukan pengolahan dan pengawetan. Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang masasimpan bahan pangan tersebut. Salah satu usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya awet pada produk ikan adalah dengan pengalengan ikan (Winarno, 1980).
Teknik pengawetan pangan yang dapat diterapkan dan banyak digunakan adalah pengawetan dengan suhu tinggi, contohnya adalah pengalengan ikan tuna. Tujuan utamanya adalah untuk memperpanjang umur simpan, dan meningkatkan nilai ekonomis dari ikan serta dapat memperbanyak  penganekaragaman pangan yang berbahan baku ikan.Prinsip pengalengan yaitu mengemas bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat sehinggaudara dan zat-zat maupun organisme yang merusak atau membusukkan tidak dapat masuk, kemudian wadah dipanaskan sampai suhu tertentu untuk mematikan pertumbuhan mikroorganisme yang ada.Pengalengan didefinisikan juga sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah,yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dankebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa. Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalamkaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai.
Zat-zat berbahaya yang terkandung dalam daging ikan salah satunya adalah mercury.  Merkuri atau air raksa (Hg) merupakan golongan logam berat dengan nomor atom 80 dan berat atom 200,6. Merkuri merupakan unsur yang sangat jarang dalam kerak bumi, dan relatif terkonsentrasi pada beberapa daerah vulkanik dan endapan-endapan mineral biji dari logam-logam berat. Merkuri digunakan pada berbagai aplikasi seperti amalgam gigi, sebagai fungisida, dan beberapa penggunaan industri termasuk untuk proses penambangan emas. Dari kegiatan penambangan tersebut menyebabkan tingginya konsentrasi merkuri dalam air tanah dan air permukaan pada daerah pertambangan. Elemen air raksa relatif tidak berbahaya kecuali kalau menguap dan terhirup secara langsung pada paru-paru. Methyl mercury terakumulasi pada rantai makanan, sebagai contoh adalah merkuri bisa masuk ke dalam tubuh manusia dengan mengkonsumsi ikan yang hidup pada perairan yang tercemar merkuri. Senyawa phenyl mercury (C6H5Hg+ dan C6H5-Hg-C6H5) bersifat racun moderat dengan waktu tinggal yang pendek pada tubuh tetapi senyawa ini berubah bentuk secara cepat pada lingkungan menjadi bentuk merkuri anorganik. Dari survei efek bahaya, merkuri ini adalah bersifat racun bagi semua bentuk kehidupan, dan bersifat lambat untuk dikeluarkan dari tubuh manusia. Methyl mercury beracun 50 kali lebih kuat dari pada merkuri anorganik.
Menurut Emborg J and Dalgaard P i (2008), dalam pemprosesan pengalengan ikan, hal yang perlu diperhatikan adalah pemilihan daging saat sebelum pengisian dalam kaleng. Ikan tuna dipilih daging yang putih dan dihilangkan daging merahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menghindari kemungkinan pencemaran daging yang nantinya akan dikalengkan oleh Histamin. Histamin sendiri merupakan senyawa nitrogen organik terlibat dalam respon imun lokal serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan juga bertindak sebagai pengirim reaksi dalam sitem kerja tubuh. Histamin memicu respon protektif. Sebagai bagian dari respon kekebalan terhadap patogen asing. Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan pelebaran pembuluh darah yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan penciutan dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah.
Akbarsyah (2006), daging ikan yang telah melalui proses open atau precook menjadi lunak sehingga mudah untuk memisahkan tulang tengah dengan daging. Menurut Moeljanto (1992), pisau yang digunakan harus tajam dan bersih. Ada pisau khusus untuk memisahkan dan membersihkan ion dari daging merah atau kehitaman. Seekor ikan dibelah menjadi empat potong dengan tangan kemudian dikukus. Akibat pengukusan itu, daging ikan terlepas dari tulang-tulang. Sirip-sirip, ekor, isi perut dan kepalanya sekaligus dipisahkan. Setelah duri dan tulang-tulang serta sirip yang menempel dipisahkan, kulit yang berwarna hitam kelabu (bila belum dibersihkan) disisir dengan pisau sampai bersih. 
Sehingga dengan adanya metode pengalengan sebagai inovasi produk yang memberi keuntungan mampu mempertahankan rasa, daya tarik, tekstur, daya simpan, dan kemasan yang praktis. Selain itu pengalengan juga harus melalui beberapa penanganan khusus untuk meminimalisasi dampak negatif akibat rekatifnya zat beracun yang terkandung dalam daging ikan tuna dalam hal ini mercury dan histamin, karena pada ikan berdaging merah memiliki kadar histamin dan mercuri yang lebih tinggi. hal ini akan menimbulkan adanya sifat racun (toxic) pada daging ikan, sehingga pengendalian mutunya harus benar-benar terjaga. Makalah ini akan sedikit membahas hal- hal yang berhubungan dengan pengalengan dan beberapa hasil penelitian zat-zat berbahaya yang akan zat yang terpengaruh konsentrasinya karena proses dari pengalengan.


I.2.        Tujuan

1.         Mengetahui apa itu pengalengan dan proses pengalengan ikan tuna.
2.         Mengetahui senyawa-senyawa berbahaya pada ikan.
3.         Mengetahui dampak dari rangkaian proses pengalengan ikan terhadap kadar dan aktivitas senyawa berbahaya tersebut.



BAB II

ISI

II.1.     Proses Pengalengan Ikan Tuna

Proses pengalengan ikan tuna meliputi beberapa proses diantaranya adalah penerimaan bahan baku, penyiangan, penyusunan dalam rak, pemasakan pendahuluan, pendinginan, pembuangan kepala dan kulit ikan, pembersihan daging, pemotongan daging, pengisian daging ke dalam kaleng penambahan medium, penutupan kaleng, sterilisasi, pendinginan dan pemeraman kaleng, perlabelan dan pengepakan (Eko dan Teuku, 2007).

II.2.     Merkuri

Merkuri dapat ditoleransi hanya pada tingkat yang sangat rendah. Pada konsentrasi tertentu merkuri sangat beracun bagi manusia. Ikan menumpuk merkuri dalam konsentrasi besar dalam jaringan. Merkuri disebabkan tidak hanya dari ikan tetapi juga dari pencemaran lingkungan dan kontaminasi selama pengolahan. Solder yang digunakan dalam pembuatan kaleng merupakan sumber kontaminasi logam berat. Adapun metode yang dilakukan dalam menentukan merkuri yang terkandung dalam kaleng ikan tuna :
1.        Peralatan
Semua peralatan yang terbuat dari kaca direndam semalam dengan larutan asam nitrit 10%. Alat dari kaca yang digunakan untuk analisis merkuri kemudian dibilas dengan air. Hal tersebut dilakukan untuk mengendalikan kemungkinan adanya air yang terkontaminasi merkuri dari pembilasan menggunakan deonisers.
Sebuah spektofotometer yang menyerap atom, yaitu Perkin-Elmer tipe 2380 dilengkapi dengan alat yang berlatar belakang mengkoreksi sebanyak dua kali digunakan untuk menentukan dan generator hyrida atau untuk merkuri menggunakan sebuah Perkin-Elmer tipe MES-10 dengan tabung terbuka. Sinyalnya akan diterima oleh sebuah Perkin – Elmer PRS-10 Printer Sequencer.
2.        Reagen
Reagen yang digunakan untuk melemahkan larutan merkuri adalah 1 M HCL. Untuk mengeluarkan merkuri yang tidak murni, dilakukan pelarutan 10 g klorida dengan 100 mL 6 M HCl. Larutan kemudian dipanaskan selama 5 menit, dinginkan, dan busa nitrogen yang muncul akan mengeluarkan merkuri yang tidak murni. Larutan pelemah untuk menentukan kadar merkuri adalah dengan melarutkan 100 mL HNOdan 25 mL H2SO4 kedalam 1000 mL aquadest.
3.        Persiapan Sampel dan Pengolahan
Ikan tuna yang digunakan didapatkan dari hasil tangkapan kapal komersial dari pesisir Meditterania di Libya dan dikalengkan dalam bentuk bongkahan oleh pabrik yang ada di sana. Penelitian ini menggunakan lima kaleng ikan tuna dari Pabrik Pengalengan Tuna di Misurata. Setiap kaleng ikan tuna tersebut memiliki berat 5 kg. Setelah membuka setiap kaleng, minyaknya dikeringkan dan dagingnya dicampur menggunakan blender makanan yang menggunakan pisau stainless steel. Sampel kemudian diambil dan diolah dengan segera.
Sampel yang homogen ditimbang sebanyak 1 ± 0.01 g , dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 1 mL HCl. Setelah 10 menit, 5 mL HNO3 ditambahkan secara perlahan. Setelah pengadukan, 2 mL ( 1 + 1) H2SO4 ditambahkan. Selanjutnya ditutup dengan kaca arloji dan diletakkan pada suhu kamar hingga sampel hampir terlarut. Erlenmeyer kemudian diletakan di atas steam bath hingga sampel terlarut sempurna. Kemudian, pindahkan dari steam bath, didinginkan dan larutan dipindahkan dengan hati-hati ke gelas ukur 20 mL dan dilarutkan hingga batas dengan aquadest.
4.        Penentuan Kandungan
Kandungan logam ditentukan dari penambahan peningkatan jumlah merkuri, kadmium dan timah ke dalam sampel yang mana kemudian digunakan dalam prosedur pengolahan. Hasil larutan dianalisis untuk mengetahui konsentrasi logam. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1 – 3. Rata – rata kandungan timah, kadmium dan merkuri adalah 99.8, 99.3 dan 97.2 secara berturut-turut, dengan koefisien variasi secara berturut – turut 8.7, 3.8 dan 3 %.
5.        Analisis Kandungan Kimia
Kandungan merkuri ditentukan menggunakan MES-10 Merkuri/ sistem Hydried dengan modifikasi pada bagian operasinya. Prosedur pengoperasian dari perusahaan termasuk dalam penambahan larutan sodium borohyride yang terus berlanjut dari penampung dengan bantuan gas argon hingga absorbsi dihasilkan. Prosedur ini bagaimanapun juga ditemukan untuk memberikan kondisi reproduksi yang rendah karena penambahan sodium borohydride yang bervariasi. Pada penelitian ini, tempat penyimpanan ditinggalkan dalam keadaan kosong. Sebuah faktor kuantitas dari larutan sampel ( 5 mL) dilarutkan ke dalam 30 mL larutan asam lemah pada tabung reaksi dan 2 mL larutan klorida ditambahkan. Tabung reaksi dengan segera disambungkan ke dalam sistem dan penghisap digerakan dengan segera, mengikuti argon ke gelembung melalui larutan setelah mengalir melalui penampung yang kosong. Selama proses ini, adanya uap merkuri yang digenerasikan dimasukkan ke dalam bagian absorbsi yang diarahkan ke jalur sinar dalam lubang dengan sinar katoda dimana absorbsi berlangsung. Faktor kuantitas dari larutan kalibrasi standard dan kosong dianalisis dengan cara yang sama dengan sampel.
Description: E:\Kuliah\Semester 4\Thermal\Tugas\Untitled.jpg
Dari 50 sampel kaleng, ada 20 kaleng yang terdeteksi mengandung merkuri. Konsentrasi merkuri dalam sampel ikan tuna dianalisis bervariasi dari 0,2 sampai 0.66 µg g-1. Terlepas dari dua sampel yang memiliki konsentrasi 0,55 dan 0.66 µg g-1 merkuri, semua sampel memiliki konsentrasi di bawah batas 0.5 µg g-1 yang direkomendasikan oleh FAO / WHO (1972). Kandungan merkuri ikan tuna yang beragam dilaporkan mulai dari 0,8 sampai 1.20 µg g-1 dengan kandungan rata-rata yang ada di antara 0,3 dan 0.4 µg g-1.
Dampak dari keracunan logam berat baru terlihat setelah beberapa tahun dan dapat bersifat kronis serta menyebabkan cacat janin yaitu merusak perkembangan sistem saraf pada janin jika menyerang ibu hamil (Arisandi, 2001; FDA, 2001; Miller, 2002). Diperkirakan bahwa 80% merkuri yang ada diserap ke aliran darah disirkulasikan ke seluruh tubuh dan dilanjutkan ke jaringan tubuh (Remington et al., 1998). Jumlah merkuri yang dapat ditoleransi dalam makanan manusia adalah 0,3 mg per minggu. Dapat disimpulkan dari hasil yang diperoleh bahwa kadar merkuri pada ikan tuna kaleng tidak berbahaya yang signifikan bagi kesehatan.

II.3.     Histamin

Histamin (imidazol-etilamin), merupakan senyawa bioamin yang tidak menguap (non volatile compound) yang dihasilkan dari proses dekarboksilasi histidin bebas (α-amino-β-imidazol asam propionat) (Lehane & Olley, 1999). Proses pembentukan histamin pada ikan sangat dipengaruhi oleh aktiv itas enzim L-Histidine Decarboxylase (HDC) (Bennour et al., 1991). Senyawa amin biogenik ini dapat terbentuk karena dekarboksilasi endogenik, yaitu yang dilakukan oleh enzim yang terdapat dalam sel ikan itu sendiri, maupun eksogenik yang merupakan proses dekarboksilasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan enzim dekarboksilase ekstraseluler. Beberapa jenis ikan terutama dari family Scombroidae mempunyai kandungan histidin bebas yang tinggi, sebagai contoh tuna mata besar mencapai 491 mg/100 g daging, mahi-mahi 344 mg/ 100 g, cakalang 1.192 mg/100 g, tuna ekor kuning 740 mg/100 g, kembung 600 mg/100 g, dan albakor yang tertinggi, sampai 2 mg/100 g (Lukton & Olcott, 1958; Perez-Martin et al., 1988; Antoine et al., 1999). Menurut hasil penelitian (Gonowiakz et al., 1990), hanya ikan yang mengandung histidin bebas di atas 100 mg/100 g daging yang mampu menghasilkan histamin.
Histamin adalah racun yang terdapat pada seafood yang dapat terjadinya keracunan Histamin Fish Poisoning (HFP). Walaupun tidak secara menyeluruh tetapi histamine ini ditemukan pada keluarga Scombridae dan Scombresocidae yang meliputi tuna dan mackerel. Hal ini dikarenakan kedua jenis ikan ini memiliki tingkat asam amino histidin yang tinggi pada dagingnya yang secara alami mengalami perubahan dari histidin menjadi histamine akibat adanya aktivitas bakteri. Histamin merupakan senyawa turunan dari asam amino histidin yang banyak terdapat pada ikan. Asam amino ini merupakan salah satu dari sepuluh asam amino esensial yang dibutuhkan oleh anak-anak dan bayi tetapi bukan asam amino esensial bagi orang dewasa.  Di dalam tubuh kita, histamin memiliki efek psikoaktif dan vasoaktif. Efek psikoaktif menyerang sistem saraf transmiter manusia, sedangkan efek vasoaktif-nya menyerang sistem vaskular. Pada orang-orang yang peka, histamin dapat menyebabkan migrain dan meningkatkan tekanan darah.
            Pada kadar yang rendah, histamin sebenarnya tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya, karena keracunan dan gejalanya hanya terjadi bila histamin masuk ke dalam aliran darah. Kandungan histamin pada ikan segar umumnya sekitar 10-15 mg/100 g (Ozogul et al., 2004, Craven et al., 2001 dalam Ko, 2006). Tubuh manusia mempunyai sistem yang cukup efektif untuk mendetoksifikasi racun yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Monoamin oksidase, diamin oksidase dan histamin-N-metiltransferase antara lain merupakan enzim pencernaan yang dapat memetabolisasi histamin yang masuk ke saluran pencernaan menjadi senyawa yang tidak toksik. Namun demikian kemungkinan terjadinya keracunan histamin tetap perlu diwaspadai karena sistem detoksifikasi histamine hanya bekerja pada kondisi asupan (intake) harian yang normal. Pada asupan yang sangat tinggi, sistem itu sudah tidak mampu lagi mendetoksifikasi racun.

Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/ 100 gr ikan. Keracunan ini biasanya akan timbul karena tingginya kadar histamin yang terdapat pada ikan yang kita konsumsi. Menurut FDA (Food and Drug Administration)  keracunan histamin akan berbahaya jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50 mg/100 gr ikan. Sedangkan kandungan histamin sebesar 20 mg/ 100 gr ikan, terjadi karena penanganan ikan yang tidak hiegenis. Batas ambang maksimal kandungan histamine yang masih dapat ditoleransi untuk dikonsumsi maksimal sebanyak < 100 ppm, namun pada beberapa orang yang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamine 50 ppm ada juga yang mengalami gejala keracunan seperti gatal-gatal, pusing, mual bahkan muntah. Jika kadar histamine pada ikan sudah mencapai bahkan melebihi 100 ppm maka ikan hampir dipastikan tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan alergi atau gejala keracunan pada konsumen yang memakannya.
Histamin diukur dengan metode fluorometri yang didasarkan pada pengukuran fluorosensi. Prosedur analisis meliputi persiapan sampel dan standar, persiapan resin dan kolom resin, pemurnian contoh, derivatisasi, pengukuran fluoresensi dengan menggunakan spektroflourometer dan perhitungan. Histamin diekstrak dari jaringan daging contoh dengan menggunakan methanol dan sekaligus mengkonversi histamin ke dalam bentuk OH. Zat-zat histamin selanjutnya dimurnikan melalui resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya dengan senyawa OPA. Besarnya fluoresensi histamin diukur pada panjang gelombang Eksitasi 350 nm dan Emisi 444 nm. Adapun metode fluorometri yang digunakan untuk mengukur kadar histamin pada ikan tuna dalam kaleng berdasarkan SNI 2360-10:2009 :
1.        Tahap ekstraksi (preparasi sampel)
Sampel sebanyak 10 g ditimbang kemudian ditambahkan dengan metanol sebanyak 50 ml lalu dihomogenkan dengan homogenizer kurang lebih 1-2 menit. Sampel yang sudah dihomogenkan dipanaskan dalam waterbath pada suhu 60°C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Sampel yang sudah didinginkan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan metanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan sampel tersebut kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.01. Hasil saringan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk pemurnian (clean up).
2.        Persiapan resin
Sebanyak 3 g resin ditimbang untuk setiap kolom dalam beaker glass 250 ml,
kemudian ditambahkan 15 ml NaOH 2 N/g resin dan diaduk-aduk dengan magnetik stirrer selama 30 menit. Cairan pada bagian atas dituangkan dan diulangi penambahan NaOH dengan jumlah yang sama. Resin selanjutnya dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali dan disaring pada kertas saring Whatman No. 01 dan dicuci kembali dengan akuades. Resin harus disiapkan dalam kondisi segar setiap minggu dan disimpan dalam refrigerator.
3.        Persiapan kolom resin (tahap clean up/elusi)
Glasswoll dimasukkan dalam kolom resin setinggi kurang lebih 1,5 cm. Resin dimasukkan dalam kolom resin setinggi 8 cm dan volume air yang berada di atas resin dipertahankan kurang lebih 1 cm (diusahakan agar resin jangan sampai kering). Labu takar 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin guna menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin. Hasil tampungan (elusi) tersebut kemudian dipisahkan untuk tahap pembentukan (pembacaan).
4.        Pemurnian contoh
Filtrat sebanyak 1 ml dipipet dan dimasukkan dalam kolom resin dan kran kolom resin dalam posisi terbuka dan dibiarkan aliran menetes dalam labu takar 50 ml. Akuades ditambahkan pada saat tinggi cairan kurang lebih 1 cm di atas resin dan cairan dibiarkan berelusi hingga mencapai 50 ml labu takar. Hasil elusi selanjutnya dapat disimpan dalam refrigerator.
5.        Persiapan pembacaan contoh, standar dan blanko
Pertama-tama tabung reaksi 50 ml masing-masing untuk contoh, standar dan blanko disiapkan. Masing-masing 5 ml contoh (hasil elusi), standar dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi tersebut. Selanjutnya ditambahkan berturut-turut 10 ml HCl 0,1 N dan vortex, kemudian ditambahkan 3 ml NaOH 1 N vortex dan dalam waktu 5 menit harus sudah ditambahkan 1 ml OPT 1 % lalu divortex dan dibiarkan selama 4 menit.
Campuran tersebut selanjutnya ditambahkan H3P04 3 N dan divortex. Sampel sesegera mungkin dibaca dengan alat spektrofotometer. Nilai konsentrasi dan fluorosensi dari larutan standar dimasukkan dalam program regresi linier. Nilai fluorosensi contoh dimasukkan ke dalam persamaan regresi standar y = a + bx, dimana y = fluorosensi contoh, a = intercept, b= slope dan x = konsentrasi contoh yang akan dihitung  Description: hist.PNG
Keterangan :
Ac = Areal contoh
ABPR = Areal blanko
Fp = Faktor pengenceran
Fa = Volume akhir sampel
W = Berat contoh
Hasil pengujian histamin ikan tuna segar diperoleh kisaran nilai 1,28 – 1,61 mg%. Nilai ini masih jauh dibawah standar keamanan yang ditetapkan oleh beberapa negara tujuan ekspor. Produksi histamine pada ikan tergantung dari kadar histidin pada ikan, keberadaan bakteri penghasil enzim dekarboksilase dan kondisi lingkungan. Jumlah histamin yang dihasilkan oleh ikan sangat dipengaruhi oleh suhu, waktu, dan kondisi penyimpanan serta spesies ikan tersebut (Lehane dan Olley, 1999).



BAB III

PENUTUP

III.1.  Kesimpulan
1.         Pengalengan yaitu salah satu cara penyimpanan dan pengawetan bahan pangan yang dikemassecara hermetic dalam suatu wadah yang disebut can (kaleng) dan kemudian disterilkan, sehingga diperoleh produk pangan yang tahan lama dan tidak mengalami kerusakan baik fisik, kimia maupun biologis. Proses pengalengan ikan tuna meliputi beberapa proses diantaranya adalah penerimaan bahan baku, penyiangan, penyusunan dalam rak, pemasakan pendahuluan, pendinginan, pembuangan kepala dan kulit ikan, pembersihan daging, pemotongan daging, pengisian daging ke dalam kaleng penambahan medium, penutupan kaleng, sterilisasi, pendinginan dan pemeraman kaleng, perlabelan dan pengepakan
2.          




DAFTAR PUSTAKA


Akbarsyah, T. M. I. 2006. Studi Proses Pengalengan Ikan Tuna Albakora (Thunnus alalunga) dan Pemanfaatan Limbahnya Mnejadi Abon Ikan di PT Bali Maya Permai, Negara, Bali. Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.
Arisandi, P. 2001. Manrove Jenis Api-Api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian Pencemaran Logam Berat Pesisir. www.o-fish.com
Astawan, M. 2004. Ikan yang sedap dan bergizi. Tiga Serangkai. S
Bennour, M., A.E. Marrakchi, N. Bouchriti, A.Hamama, and M.E.Ouadaa. 1991. Chemical and microbiological assessment of mackerel (Scomber scombrus) stored in ice. J. Food Prot. 54: 789 – 792.
Dahuri, R. 2004. Gerakan Makan Ikan, Budaya Bahari, dan Kualitas Hidup Bangsa. Harian Kompas, Jakarta, Senin 14 Juni 2004.
Emborg J and Dalgaard P. 2008. Modelling the effect of temperature, corbon dioxide, water activity and pH on growth and histamin formation by Morganella psychrotolerant. Food Microbiology (128): 226- 233
Endang Sri Heru wati.Romauli  Aya Sophia. dan Wibowo FDA. 2001. An Important Message for Pregnant Women and Women of Childbearing Age Who May Become Pregnant About The Riss of Mercury in Fish. Center for Food Safety and Applied Nutrition. US Food and Drug Administration.
Gonowiak, Z, R. Gajevska, and E. Lipka. 1990. Histidine decarboxylase activity and free histidine and histamine levels in fish meat. Pantstw Zokl Hiq. 41(1- 2): 50–57.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Liberty. Yogyakarta.
Indah Widiastuti.Sumpeno Putro.2010. Analisis mutu Ikan Tuna selama lepas tangkap. Ilmu Kelautan FMIPA UNSRI.Maspari Journal 01 (2010) 22-29
Lehane, L. and Olley, J. 1999. Histamine (Scombroid) Fish Poisoning. A review in a risk – assessment framework. National Office of Animal and Plant Health, Canberra: iv + 80 pp. Lukton, A. and Olcott, HS. 1958. Content of free imidazole compounds in the muscle tissue of aquatic animals. J. of Fd Res. 23: 518–611.
Mangunwardoyo.2008.. Penghambatan enzim L-histidine decarboxylase dari bakteri Pembentuk Hiatamin Menggunakan Asam Benzoat. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 3 No. 2
Miller CMD. 2002. Heavy Metals : Mercury, Lead, and Arsenic. Biennial Scientific Symposium on Children’s Health as Impacted by Environmental Contaminants. University of Texas Health Science Center. San Antonio.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ozogul, F., Polat, A., and Ozogul, Y. 2004. The effect of modified atmosphere packaging and vacuum   packaging on chemical, sensory and microbiological changes of sardines (Sardinella pilchardus). J.Food. Chem. 85(1): 49–57.
Remington DMD, Moore JDO, Voss DDO. 1998. Treatment for Mercury Toxicity Freedom Center for Advanced Medicine.
Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar