BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara pengekspor tuna dalam berbagai variasi produk, yang salh
satunya adalh produk tuna dalam kaleng. Terdapat berbagai jenis ikan tuna di
perairan indonesia yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pengolahan
produk tuna kaleng. Dalam dua puluh lima
tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan kesehatan
dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan
serta kecerdasan manusia (Dahuri, 2004). Ikan (seafood) rata-rata mengandung 20
% protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino esensial yang
seimbang. Ikan juga mengandung omega 3 yang sangat penting bagi perkembangan
jaringan otak, mencegah terjadinya penyakit jantung, stroke dan darah tinggi.
Lebih dari itu omega 3 juga dapat mencegah penyakit inflamasi seperti
arthritis, asma, colitis, dermatitis serta psoriasis, beberapa jenis penyakit
ginjal dan membantu penyembuhan penyakit depresi, skizofrenia serta gejala
hiperaktif pada anak-anak (Dahuri, 2004 dan Astawan, 2004). Dibandingkan dengan
nilai gizi daging hewan darat, misalnya daging sapi, kedudukan ikan boleh
dikatakan jauh lebih tinggi. Sedangkan dibandingkan dengan telur kedudukan ikan
sebagai bahan pangan juga tidak jauh berbeda. Protein ikan mempunyai nilai
biologis tinggi. Meskipun tiap jenis ikan angka biologisnya berbeda tetapi
umumnya sekitar 90. Derajat penerimaan seseorang terhadap ikan sangat tinggi.
Hal ini karena ikan memberikan rasa yang khas yaitu gurih, warna dagingnya
kebanyakan putih, jaringan pengikatnya halus sehingga jika dimakan terasa enak
(Hadiwiyoto, 1993).
Pengalengan
yaitu salah satu cara penyimpanan dan pengawetan bahan pangan yang
dikemassecara hermetic dalam suatu wadah yang disebut can (kaleng) dan kemudian
disterilkan, sehingga diperoleh produk pangan yang tahan lama dan tidak
mengalami kerusakan baik fisik, kimia maupun biologis. Kandungan protein yang
cukup tinggi pada ikan menyebabkan ikan mudah rusak bila tidak segera dilakukan
pengolahan dan pengawetan. Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang masasimpan
bahan pangan tersebut. Salah satu usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya
awet pada produk ikan adalah dengan pengalengan ikan (Winarno, 1980).
Teknik
pengawetan pangan yang dapat diterapkan dan banyak digunakan adalah pengawetan
dengan suhu tinggi, contohnya adalah pengalengan ikan tuna. Tujuan utamanya
adalah untuk memperpanjang umur simpan, dan meningkatkan nilai ekonomis dari
ikan serta dapat memperbanyak
penganekaragaman pangan yang berbahan baku ikan.Prinsip pengalengan
yaitu mengemas bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat sehinggaudara dan
zat-zat maupun organisme yang merusak atau membusukkan tidak dapat masuk,
kemudian wadah dipanaskan sampai suhu tertentu untuk mematikan pertumbuhan
mikroorganisme yang ada.Pengalengan didefinisikan juga sebagai suatu cara
pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air,
mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah,yang kemudian disterilkan
secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan
pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar
dankebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan
cita rasa. Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi
komersial (bukan sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau
mikroba lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak
isi apabila kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalamkaleng harus
disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai.
Zat-zat
berbahaya yang terkandung dalam daging ikan salah satunya adalah mercury. Merkuri atau air raksa (Hg) merupakan
golongan logam berat dengan nomor atom 80 dan berat atom 200,6. Merkuri
merupakan unsur yang sangat jarang dalam kerak bumi, dan relatif terkonsentrasi
pada beberapa daerah vulkanik dan endapan-endapan mineral biji dari logam-logam
berat. Merkuri digunakan pada berbagai aplikasi seperti amalgam gigi, sebagai
fungisida, dan beberapa penggunaan industri termasuk untuk proses penambangan
emas. Dari kegiatan penambangan tersebut menyebabkan tingginya konsentrasi
merkuri dalam air tanah dan air permukaan pada daerah pertambangan. Elemen air
raksa relatif tidak berbahaya kecuali kalau menguap dan terhirup secara
langsung pada paru-paru. Methyl mercury terakumulasi pada rantai makanan,
sebagai contoh adalah merkuri bisa masuk ke dalam tubuh manusia dengan
mengkonsumsi ikan yang hidup pada perairan yang tercemar merkuri. Senyawa
phenyl mercury (C6H5Hg+ dan C6H5-Hg-C6H5) bersifat racun moderat dengan waktu
tinggal yang pendek pada tubuh tetapi senyawa ini berubah bentuk secara cepat
pada lingkungan menjadi bentuk merkuri anorganik. Dari survei efek bahaya, merkuri
ini adalah bersifat racun bagi semua bentuk kehidupan, dan bersifat lambat
untuk dikeluarkan dari tubuh manusia. Methyl mercury beracun 50 kali lebih kuat
dari pada merkuri anorganik.
Menurut Emborg J and Dalgaard P i (2008), dalam pemprosesan pengalengan ikan, hal yang perlu
diperhatikan adalah pemilihan daging saat sebelum pengisian dalam kaleng. Ikan
tuna dipilih daging yang putih dan dihilangkan daging merahnya. Hal ini
dilakukan karena untuk menghindari kemungkinan pencemaran daging yang nantinya
akan dikalengkan oleh Histamin. Histamin sendiri merupakan senyawa nitrogen
organik terlibat dalam respon imun lokal serta mengatur fungsi fisiologis dalam
usus dan juga bertindak sebagai pengirim reaksi dalam sitem kerja tubuh.
Histamin memicu respon protektif. Sebagai bagian dari respon kekebalan terhadap
patogen asing. Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain
dapat menyebabkan pelebaran pembuluh darah yang kuat dari kapiler-kapiler,
serentak dengan penciutan dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga
mengakibatkan penurunan tekanan darah.
Akbarsyah (2006), daging ikan yang
telah melalui proses open atau precook menjadi lunak sehingga mudah
untuk memisahkan tulang tengah dengan daging. Menurut
Moeljanto (1992), pisau yang digunakan harus tajam dan bersih. Ada pisau khusus
untuk memisahkan dan membersihkan ion dari
daging merah atau kehitaman. Seekor ikan dibelah menjadi empat potong dengan
tangan kemudian dikukus. Akibat pengukusan itu, daging ikan terlepas dari tulang-tulang. Sirip-sirip, ekor, isi perut dan
kepalanya sekaligus dipisahkan. Setelah duri dan tulang-tulang serta sirip yang
menempel dipisahkan, kulit yang berwarna hitam
kelabu (bila belum dibersihkan) disisir dengan pisau sampai bersih.
Sehingga dengan adanya
metode pengalengan sebagai inovasi produk yang memberi keuntungan mampu
mempertahankan rasa, daya tarik, tekstur, daya simpan, dan kemasan yang
praktis. Selain itu pengalengan juga harus melalui beberapa penanganan khusus
untuk meminimalisasi dampak negatif akibat rekatifnya zat beracun yang
terkandung dalam daging ikan tuna dalam hal ini mercury dan histamin, karena
pada ikan berdaging merah memiliki kadar histamin dan mercuri yang lebih
tinggi. hal ini akan menimbulkan adanya sifat racun (toxic) pada daging ikan, sehingga
pengendalian mutunya harus benar-benar terjaga. Makalah ini akan sedikit
membahas hal- hal yang berhubungan dengan pengalengan dan beberapa hasil
penelitian zat-zat berbahaya yang akan zat yang terpengaruh konsentrasinya
karena proses dari pengalengan.
I.2.
Tujuan
1.
Mengetahui apa itu
pengalengan dan proses pengalengan ikan tuna.
2.
Mengetahui
senyawa-senyawa berbahaya pada ikan.
3.
Mengetahui dampak dari
rangkaian proses pengalengan ikan terhadap kadar dan aktivitas senyawa berbahaya
tersebut.
BAB II
ISI
II.1.
Proses Pengalengan Ikan Tuna
Proses
pengalengan ikan tuna meliputi beberapa proses diantaranya adalah penerimaan
bahan baku, penyiangan, penyusunan dalam rak, pemasakan pendahuluan,
pendinginan, pembuangan kepala dan kulit ikan, pembersihan daging, pemotongan
daging, pengisian daging ke dalam kaleng penambahan medium, penutupan kaleng,
sterilisasi, pendinginan dan pemeraman kaleng, perlabelan dan pengepakan (Eko
dan Teuku, 2007).
II.2.
Merkuri
Merkuri dapat ditoleransi hanya pada
tingkat yang sangat rendah. Pada konsentrasi tertentu merkuri sangat beracun
bagi manusia. Ikan menumpuk merkuri dalam konsentrasi besar dalam jaringan.
Merkuri disebabkan tidak hanya dari ikan tetapi juga dari pencemaran lingkungan
dan kontaminasi selama pengolahan. Solder yang digunakan dalam pembuatan kaleng
merupakan sumber kontaminasi logam berat. Adapun metode yang dilakukan dalam
menentukan merkuri yang terkandung dalam kaleng ikan tuna :
1.
Peralatan
Semua
peralatan yang terbuat dari kaca direndam semalam dengan larutan asam nitrit
10%. Alat dari kaca yang digunakan untuk analisis merkuri kemudian dibilas
dengan air. Hal tersebut dilakukan untuk mengendalikan kemungkinan adanya air
yang terkontaminasi merkuri dari pembilasan menggunakan deonisers.
Sebuah
spektofotometer yang menyerap atom, yaitu Perkin-Elmer tipe 2380 dilengkapi
dengan alat yang berlatar belakang mengkoreksi sebanyak dua kali digunakan
untuk menentukan dan generator hyrida atau untuk merkuri menggunakan sebuah
Perkin-Elmer tipe MES-10 dengan tabung terbuka. Sinyalnya akan diterima oleh
sebuah Perkin – Elmer PRS-10 Printer Sequencer.
2.
Reagen
Reagen yang digunakan untuk melemahkan
larutan merkuri adalah 1 M HCL. Untuk mengeluarkan merkuri yang tidak murni,
dilakukan pelarutan 10 g klorida dengan 100 mL 6 M HCl. Larutan kemudian
dipanaskan selama 5 menit, dinginkan, dan busa nitrogen yang muncul akan
mengeluarkan merkuri yang tidak murni. Larutan pelemah untuk menentukan kadar
merkuri adalah dengan melarutkan 100 mL HNO3 dan 25 mL H2SO4 kedalam
1000 mL aquadest.
3.
Persiapan Sampel dan
Pengolahan
Ikan
tuna yang digunakan didapatkan dari hasil tangkapan kapal komersial dari
pesisir Meditterania di Libya dan dikalengkan dalam bentuk bongkahan oleh
pabrik yang ada di sana. Penelitian ini menggunakan lima kaleng ikan tuna dari
Pabrik Pengalengan Tuna di Misurata. Setiap kaleng ikan tuna tersebut memiliki
berat 5 kg. Setelah membuka setiap kaleng, minyaknya dikeringkan dan dagingnya
dicampur menggunakan blender makanan yang menggunakan pisau stainless steel.
Sampel kemudian diambil dan diolah dengan segera.
Sampel yang homogen ditimbang sebanyak 1
± 0.01 g , dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 1 mL HCl.
Setelah 10 menit, 5 mL HNO3 ditambahkan secara perlahan. Setelah
pengadukan, 2 mL ( 1 + 1) H2SO4 ditambahkan. Selanjutnya
ditutup dengan kaca arloji dan diletakkan pada suhu kamar hingga sampel hampir
terlarut. Erlenmeyer kemudian diletakan di atas steam bath hingga sampel
terlarut sempurna. Kemudian, pindahkan dari steam bath, didinginkan dan larutan
dipindahkan dengan hati-hati ke gelas ukur 20 mL dan dilarutkan hingga batas
dengan aquadest.
4.
Penentuan Kandungan
Kandungan logam ditentukan dari
penambahan peningkatan jumlah merkuri, kadmium dan timah ke dalam sampel yang
mana kemudian digunakan dalam prosedur pengolahan. Hasil larutan dianalisis
untuk mengetahui konsentrasi logam. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1 – 3. Rata
– rata kandungan timah, kadmium dan merkuri adalah 99.8, 99.3 dan 97.2 secara
berturut-turut, dengan koefisien variasi secara berturut – turut 8.7, 3.8 dan 3
%.
5.
Analisis Kandungan
Kimia
Kandungan
merkuri ditentukan menggunakan MES-10 Merkuri/ sistem Hydried dengan modifikasi
pada bagian operasinya. Prosedur pengoperasian dari perusahaan termasuk dalam
penambahan larutan sodium borohyride yang terus berlanjut dari penampung dengan
bantuan gas argon hingga absorbsi dihasilkan. Prosedur ini bagaimanapun juga
ditemukan untuk memberikan kondisi reproduksi yang rendah karena penambahan
sodium borohydride yang bervariasi. Pada penelitian ini, tempat penyimpanan
ditinggalkan dalam keadaan kosong. Sebuah faktor kuantitas dari larutan sampel
( 5 mL) dilarutkan ke dalam 30 mL larutan asam lemah pada tabung reaksi dan 2
mL larutan klorida ditambahkan. Tabung reaksi dengan segera disambungkan ke
dalam sistem dan penghisap digerakan dengan segera, mengikuti argon ke
gelembung melalui larutan setelah mengalir melalui penampung yang kosong.
Selama proses ini, adanya uap merkuri yang digenerasikan dimasukkan ke dalam
bagian absorbsi yang diarahkan ke jalur sinar dalam lubang dengan sinar katoda
dimana absorbsi berlangsung. Faktor kuantitas dari larutan kalibrasi standard
dan kosong dianalisis dengan cara yang sama dengan sampel.

Dari
50 sampel kaleng, ada 20 kaleng yang terdeteksi mengandung merkuri. Konsentrasi
merkuri dalam sampel ikan tuna dianalisis bervariasi dari 0,2 sampai 0.66 µg
g-1. Terlepas dari dua sampel yang memiliki konsentrasi 0,55 dan 0.66 µg g-1
merkuri, semua sampel memiliki konsentrasi di bawah batas 0.5 µg g-1 yang
direkomendasikan oleh FAO / WHO (1972). Kandungan merkuri ikan tuna yang
beragam dilaporkan mulai dari 0,8 sampai 1.20 µg g-1 dengan kandungan rata-rata
yang ada di antara 0,3 dan 0.4 µg g-1.
Dampak
dari keracunan logam berat baru terlihat setelah beberapa tahun dan dapat
bersifat kronis serta menyebabkan cacat janin yaitu merusak perkembangan sistem
saraf pada janin jika menyerang ibu hamil (Arisandi, 2001; FDA, 2001; Miller,
2002). Diperkirakan bahwa 80% merkuri yang ada diserap ke aliran darah
disirkulasikan ke seluruh tubuh dan dilanjutkan ke jaringan tubuh (Remington et
al., 1998). Jumlah merkuri yang dapat ditoleransi dalam makanan manusia adalah
0,3 mg per minggu. Dapat disimpulkan dari hasil yang diperoleh bahwa kadar
merkuri pada ikan tuna kaleng tidak berbahaya yang signifikan bagi kesehatan.
II.3.
Histamin
Histamin
(imidazol-etilamin), merupakan senyawa bioamin yang tidak menguap (non
volatile compound) yang dihasilkan dari proses dekarboksilasi histidin
bebas (α-amino-β-imidazol asam propionat) (Lehane & Olley, 1999). Proses
pembentukan histamin pada ikan sangat dipengaruhi oleh aktiv itas enzim L-Histidine
Decarboxylase (HDC) (Bennour et al., 1991). Senyawa amin biogenik
ini dapat terbentuk karena dekarboksilasi endogenik, yaitu yang dilakukan oleh
enzim yang terdapat dalam sel ikan itu sendiri, maupun eksogenik yang merupakan
proses dekarboksilasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan enzim dekarboksilase
ekstraseluler. Beberapa jenis ikan terutama dari family Scombroidae mempunyai
kandungan histidin bebas yang tinggi, sebagai contoh tuna mata besar mencapai
491 mg/100 g daging, mahi-mahi 344 mg/ 100 g, cakalang 1.192 mg/100 g, tuna
ekor kuning 740 mg/100 g, kembung 600 mg/100 g, dan albakor yang tertinggi,
sampai 2 mg/100 g (Lukton & Olcott, 1958; Perez-Martin et al., 1988;
Antoine et al., 1999). Menurut hasil penelitian (Gonowiakz et al.,
1990), hanya ikan yang mengandung histidin bebas di atas 100 mg/100 g daging
yang mampu menghasilkan histamin.
Histamin adalah racun yang terdapat
pada seafood yang dapat terjadinya keracunan Histamin Fish Poisoning (HFP). Walaupun tidak secara menyeluruh
tetapi histamine ini ditemukan pada keluarga Scombridae dan Scombresocidae yang
meliputi tuna dan mackerel. Hal ini dikarenakan kedua jenis ikan ini memiliki
tingkat asam amino histidin yang tinggi pada dagingnya yang secara alami
mengalami perubahan dari histidin menjadi histamine akibat adanya aktivitas
bakteri. Histamin merupakan senyawa turunan dari asam amino histidin
yang banyak terdapat pada ikan. Asam amino ini merupakan salah satu dari
sepuluh asam amino esensial yang dibutuhkan oleh anak-anak dan bayi
tetapi bukan asam amino esensial bagi orang dewasa. Di dalam tubuh kita, histamin memiliki efek psikoaktif
dan vasoaktif. Efek psikoaktif menyerang sistem saraf
transmiter manusia, sedangkan efek vasoaktif-nya menyerang sistem
vaskular. Pada orang-orang yang peka, histamin dapat menyebabkan migrain dan
meningkatkan tekanan darah.
Pada kadar yang rendah, histamin
sebenarnya tidak terlalu berbahaya bagi kesehatan manusia yang mengkonsumsinya,
karena keracunan dan gejalanya hanya terjadi bila histamin masuk ke dalam
aliran darah. Kandungan histamin pada ikan segar umumnya sekitar 10-15 mg/100 g
(Ozogul et al., 2004, Craven et al., 2001 dalam Ko, 2006).
Tubuh manusia mempunyai sistem yang cukup efektif untuk mendetoksifikasi racun
yang masuk ke dalam saluran pencernaan. Monoamin oksidase, diamin oksidase dan
histamin-N-metiltransferase antara lain merupakan enzim pencernaan yang dapat
memetabolisasi histamin yang masuk ke saluran pencernaan menjadi senyawa yang tidak
toksik. Namun demikian kemungkinan terjadinya keracunan histamin tetap perlu
diwaspadai karena sistem detoksifikasi histamine hanya bekerja pada kondisi
asupan (intake) harian yang normal. Pada asupan yang sangat tinggi, sistem
itu sudah tidak mampu lagi mendetoksifikasi racun.
Histamin tidak membahayakan jika dikonsumsi
dalam jumlah yang rendah, yaitu 8 mg/ 100 gr ikan. Keracunan ini biasanya akan
timbul karena tingginya kadar histamin yang terdapat pada ikan yang kita
konsumsi. Menurut FDA (Food and Drug Administration) keracunan histamin
akan berbahaya jika seseorang mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin 50
mg/100 gr ikan. Sedangkan kandungan histamin sebesar 20 mg/ 100 gr ikan,
terjadi karena penanganan ikan yang tidak hiegenis. Batas ambang maksimal
kandungan histamine yang masih dapat ditoleransi untuk dikonsumsi maksimal
sebanyak < 100 ppm, namun pada beberapa orang yang mengkonsumsi ikan dengan
kandungan histamine 50 ppm ada juga yang mengalami gejala keracunan seperti
gatal-gatal, pusing, mual bahkan muntah. Jika kadar histamine pada ikan sudah
mencapai bahkan melebihi 100 ppm maka ikan hampir dipastikan tidak layak untuk
dikonsumsi karena dapat menimbulkan alergi atau gejala keracunan pada konsumen
yang memakannya.
Histamin
diukur dengan metode fluorometri yang didasarkan pada pengukuran fluorosensi.
Prosedur analisis meliputi persiapan sampel dan standar, persiapan resin dan
kolom resin, pemurnian contoh, derivatisasi, pengukuran fluoresensi dengan
menggunakan spektroflourometer dan perhitungan. Histamin diekstrak dari
jaringan daging contoh dengan menggunakan methanol dan sekaligus mengkonversi
histamin ke dalam bentuk OH. Zat-zat histamin selanjutnya dimurnikan melalui
resin penukar ion dan diubah ke bentuk derivatnya dengan senyawa OPA. Besarnya
fluoresensi histamin diukur pada panjang gelombang Eksitasi 350 nm dan Emisi
444 nm. Adapun metode fluorometri yang digunakan untuk mengukur kadar histamin
pada ikan tuna dalam kaleng berdasarkan SNI
2360-10:2009 :
1.
Tahap ekstraksi
(preparasi sampel)
Sampel sebanyak 10 g ditimbang kemudian
ditambahkan dengan metanol sebanyak 50 ml lalu dihomogenkan dengan homogenizer
kurang lebih 1-2 menit. Sampel yang sudah dihomogenkan dipanaskan dalam
waterbath pada suhu 60°C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang.
Sampel yang sudah didinginkan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan
ditambahkan metanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan sampel
tersebut kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.01. Hasil saringan tersebut
selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk pemurnian (clean up).
2.
Persiapan resin
Sebanyak
3 g resin ditimbang untuk setiap kolom dalam beaker glass 250 ml,
kemudian
ditambahkan 15 ml NaOH 2 N/g resin dan diaduk-aduk dengan magnetik stirrer selama
30 menit. Cairan pada bagian atas dituangkan dan diulangi penambahan NaOH
dengan jumlah yang sama. Resin selanjutnya dibilas dengan akuades sebanyak 3
kali dan disaring pada kertas saring Whatman No. 01 dan dicuci kembali dengan
akuades. Resin harus disiapkan dalam kondisi segar setiap minggu dan disimpan
dalam refrigerator.
3.
Persiapan kolom resin
(tahap clean up/elusi)
Glasswoll
dimasukkan dalam kolom resin setinggi kurang lebih 1,5 cm. Resin dimasukkan
dalam kolom resin setinggi 8 cm dan volume air yang berada di atas resin
dipertahankan kurang lebih 1 cm (diusahakan agar resin jangan sampai kering).
Labu takar 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCl 1 N diletakkan di bawah kolom resin
guna menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin. Hasil tampungan
(elusi) tersebut kemudian dipisahkan untuk tahap pembentukan (pembacaan).
4.
Pemurnian contoh
Filtrat sebanyak 1 ml dipipet dan
dimasukkan dalam kolom resin dan kran kolom resin dalam posisi terbuka dan
dibiarkan aliran menetes dalam labu takar 50 ml. Akuades ditambahkan pada saat
tinggi cairan kurang lebih 1 cm di atas resin dan cairan dibiarkan berelusi
hingga mencapai 50 ml labu takar. Hasil elusi selanjutnya dapat disimpan dalam
refrigerator.
5.
Persiapan pembacaan
contoh, standar dan blanko
Pertama-tama tabung reaksi 50 ml
masing-masing untuk contoh, standar dan blanko disiapkan. Masing-masing 5 ml
contoh (hasil elusi), standar dan blanko (HCl 0,1 N) dipipet dan dimasukkan ke
dalam tabung reaksi tersebut. Selanjutnya ditambahkan berturut-turut 10 ml HCl
0,1 N dan vortex, kemudian ditambahkan 3 ml NaOH 1 N vortex dan dalam waktu 5
menit harus sudah ditambahkan 1 ml OPT 1 % lalu divortex dan dibiarkan selama 4
menit.
Campuran
tersebut selanjutnya ditambahkan H3P04 3 N dan divortex. Sampel sesegera
mungkin dibaca dengan alat spektrofotometer. Nilai konsentrasi dan fluorosensi
dari larutan standar dimasukkan dalam program regresi linier. Nilai fluorosensi
contoh dimasukkan ke dalam persamaan regresi standar y = a + bx, dimana y =
fluorosensi contoh, a = intercept, b= slope dan x = konsentrasi
contoh yang akan dihitung 
Keterangan
:
Ac
= Areal contoh
ABPR
= Areal blanko
Fp
= Faktor pengenceran
Fa
= Volume akhir sampel
W
= Berat contoh
Hasil pengujian histamin ikan tuna segar
diperoleh kisaran nilai 1,28 – 1,61 mg%. Nilai ini masih jauh dibawah standar
keamanan yang ditetapkan oleh beberapa negara tujuan ekspor. Produksi histamine
pada ikan tergantung dari kadar histidin pada ikan, keberadaan bakteri
penghasil enzim dekarboksilase dan kondisi lingkungan. Jumlah histamin yang
dihasilkan oleh ikan sangat dipengaruhi oleh suhu, waktu, dan kondisi
penyimpanan serta spesies ikan tersebut (Lehane dan Olley, 1999).
BAB III
PENUTUP
III.1.
Kesimpulan
1.
Pengalengan yaitu salah
satu cara penyimpanan dan pengawetan bahan pangan yang dikemassecara hermetic
dalam suatu wadah yang disebut can (kaleng) dan kemudian disterilkan, sehingga
diperoleh produk pangan yang tahan lama dan tidak mengalami kerusakan baik
fisik, kimia maupun biologis. Proses pengalengan ikan tuna meliputi beberapa
proses diantaranya adalah penerimaan bahan baku, penyiangan, penyusunan dalam
rak, pemasakan pendahuluan, pendinginan, pembuangan kepala dan kulit ikan,
pembersihan daging, pemotongan daging, pengisian daging ke dalam kaleng
penambahan medium, penutupan kaleng, sterilisasi, pendinginan dan pemeraman
kaleng, perlabelan dan pengepakan
2.
DAFTAR PUSTAKA
Akbarsyah, T. M.
I. 2006. Studi Proses Pengalengan Ikan Tuna Albakora (Thunnus alalunga) dan
Pemanfaatan Limbahnya Mnejadi Abon Ikan di PT Bali Maya Permai, Negara, Bali.
Sekolah Tinggi Perikanan. Jakarta.
Arisandi, P. 2001. Manrove Jenis
Api-Api (Avicennia marina) Alternatif
Pengendalian Pencemaran Logam Berat Pesisir. www.o-fish.com
Astawan, M. 2004. Ikan yang sedap
dan bergizi. Tiga Serangkai. S
Bennour, M., A.E. Marrakchi, N.
Bouchriti, A.Hamama, and M.E.Ouadaa. 1991. Chemical and microbiological
assessment of mackerel (Scomber scombrus) stored in ice. J. Food Prot.
54: 789 – 792.
Dahuri, R. 2004. Gerakan Makan Ikan,
Budaya Bahari, dan Kualitas Hidup Bangsa. Harian Kompas, Jakarta, Senin 14 Juni
2004.
Emborg J and Dalgaard P. 2008.
Modelling the effect of temperature, corbon dioxide, water activity and pH on
growth and histamin formation by Morganella psychrotolerant. Food Microbiology
(128): 226- 233
Endang
Sri Heru wati.Romauli Aya Sophia. dan
Wibowo FDA. 2001. An Important Message for Pregnant Women and Women of
Childbearing Age Who May Become Pregnant About The Riss of Mercury in Fish.
Center for Food Safety and Applied Nutrition. US Food and Drug Administration.
Gonowiak,
Z, R. Gajevska, and E. Lipka. 1990. Histidine decarboxylase activity and free
histidine and histamine levels in fish meat. Pantstw Zokl Hiq. 41(1- 2):
50–57.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan
Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Liberty. Yogyakarta.
Indah
Widiastuti.Sumpeno Putro.2010. Analisis mutu Ikan Tuna selama lepas tangkap.
Ilmu Kelautan FMIPA UNSRI.Maspari Journal 01 (2010) 22-29
Lehane,
L. and Olley, J. 1999. Histamine (Scombroid) Fish Poisoning. A review
in a risk – assessment framework. National Office of Animal and
Plant Health, Canberra: iv + 80 pp. Lukton, A. and Olcott, HS. 1958. Content of
free imidazole compounds in the muscle tissue of aquatic animals. J. of Fd
Res. 23: 518–611.
Mangunwardoyo.2008..
Penghambatan enzim L-histidine decarboxylase dari bakteri Pembentuk
Hiatamin Menggunakan Asam Benzoat. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan Vol. 3 No. 2
Miller CMD. 2002. Heavy Metals : Mercury,
Lead, and Arsenic. Biennial Scientific Symposium on Children’s Health as
Impacted by Environmental Contaminants. University of Texas Health Science
Center. San Antonio.
Moeljanto. 1992.
Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ozogul,
F., Polat, A., and Ozogul, Y. 2004. The effect of modified atmosphere packaging
and vacuum packaging on chemical,
sensory and microbiological changes of sardines (Sardinella pilchardus).
J.Food. Chem. 85(1): 49–57.
Remington DMD, Moore JDO, Voss DDO.
1998. Treatment for Mercury Toxicity Freedom Center for Advanced Medicine.
Winarno, F.G., 1993. Pangan, Gizi,
Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.